Memory: Let Me Be The First

capture127

Casts: Park Yoo Ji [OC]; Park Chan Yeol [EXO]; Cha Eun Woo [ASTRO]; Kim Tae Hyung [BTS]; Jeon Jung Kook [BTS]; Park Ji Min [BTS]; Kim Soo Jin [OC];  Park Chae Young [Rosè BLACKPINK]

Created: 22 Februari 2017

Cerita ini asli hasil imajinasi dan rekayasa tak berdasarkan fakta dari penulis. Happy reading!

MEMORY: LET ME BE THE FIRST

“Ani, maldo andwae, jinjja maldo andwae! Aku masih tidak bisa menerima logika ini!”

Aku masih mewarnai buku stress therapy yang kemarin kubeli. Entah mengapa aku tiba-tiba ingin membelinya. Dan karena aku membelinya, Tae Hyung oppa juga membelinya. Ia kini di sebelahku juga mewarnai buku itu. Hahaha, imut sekali Tae Hyung oppa. Ia mewarnai buku bertema doodle, sedangkan aku bertema forest. Aku hanya melihatnya, Tae Hyung oppa masih sangat serius.

“Aku selama ini dianggap apa? Setidaknya beri sedikit tanda, atau kode. Bahkan aku seperti dibodohi ketika bersama mereka. Astaga, aku marah sekali!!!!”

Dan omelan Ji Min oppa masih menjadi backsound kegiatanku dan Tae Hyung oppa. Setelah tadi ia melihat Yeol oppa dan Chae Young berciuman, ia terus mengomel tanpa henti. Mengulangi hal-hal yang membuanya kecewa. Semenjak kuliah, Ji Min oppa banyak bicara juga. Aku senang, karena dulu ia hanya diam, tersenyum, dan diam lagi. Bagaimana khas anak pendiam yang baik hati. Apa semenjak berteman dengan makhluk di sebelahku?

“Eo, Soo Jin-ah.”

Aku menoleh karena tiba-tiba Ji Min oppa menyebut Soo Jin. Bukankah Soo Jin dan Chae Young tadi menyirami bunga? Baru saja mereka perginya. Mana mungkin mereka kembali lagi? Namun setelah kutemukan, Ji Min oppa sedang menempelkan ponselnya di telinga. Ah, Soo Jin menelponnya. Dasar, untuk apa juga dia menelpon padahal satu rumah. Ckckck.

“Ya, Jeon Jung Kook! Kenapa kau menelpon menggunakan ponsel Soo Jin? Aku, Tae Hyung, dan Yoo Ji di ruang baca, wae?”

Aku melihat ke arah Tae Hyung oppa yang masih serius mewarnai. Aku mendekatkan tubuhku padanya agar aku bisa berbicara pelan. “Oppa, kau mau menemaniku pergi? Sebentar saja. Eo? Mau yaaa?”

Ia masih mewarnai, tidak bergerak, tidak menjawab pertanyaanku. Aku menghela nafas sambil menjauhkan tubuhku dari Tae Hyung oppa. Menyandar pada kursi dengan frustasi. Ji Min oppa sebentar lagi olah raga, Yeol oppa masih ada wawancara majalah. Aku harus bagaimana? Apa aku pergi sendiri saja? Geurae, lebih cepat lebih baik. Aku langsung membereskan pensil warna yang berantakan di atas bukuku. Meletakkannya ke wadah yang ada di depan Tae Hyung oppa. Kini aku menutup bukuku dan bangun dari dudukku.

Saat aku merapikan kursi yang kududuki, Tae Hyung oppa melihat ke arahku. “Kau mau pergi ke mana?”

Aku langsung menggeleng. “Tidak kemana-mana, lanjutkanlah.” Aku langsung meninggalkannya. Aku melewati Ji Min oppa yang masih bertelepon dengan Jung Kook. Dasar orang-orang boros, beda lantai saja harus bertelepon. Tapi memang, Jung Kook sendiri sedang tidak bisa banyak bergerak. Kemarin saat work out bersama Ji Min oppa kakinya cedera, hingga kita semua panik takut terjadi hal yg tidak diinginkan. Ternyata ada pembengkakan di mata kakinya, jadi ia tidak bisa berjalan dengan baik. Apalagi menaiki tangga.

Karenanya sekarang aku ingin memberikan sesuatu untuknya.

Aku mengenakan jaket dan masker di mulutku. Kusabet kunci motor Ji Min oppa yang menggantung di dekat pintu ruangan ini. Aku berjalan menuju garasi Ji Min oppa. Saat hendak mengenakan helm, aku terhenti sesaat karena ada seseorang yang sedang duduk seperti menyandar di motor Ji Min oppa yang hendak kunaiki.

Ia kini melihat ke arahku. “Kau! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali agar membersihkan kamarku dengan cepat?!! Aku tidak suka berada di kamar yang berantakan! Atau akan kulaporkan kau pada atasanmu!!!”

Wtf kenapa dia memarahiku seperti itu? Siapa dia? Aku hanya mengedipkan mataku. Menahan amarahku karena telah dicaci tidak jelas tanpa tahu salahku di mana. Apa jangan-jangan dia penghuni villa Ji Min oppa?

“Kau tidak mengerti bahasa Korea? What the heck are you doing is so fckn’ annoyinggg me!”

Dengan kasar aku melepas maskerku dan membuangnya ke lantai. Manusia darimana ini kenapa dia miskin etika sekali?!!! Ia kini sudah berhadapan denganku, wajah menantangnya mendadak menyurut. Apa mungkin karena ia menemukan kemiripan antara wajahku dan Ji Min oppa? “How on earth am I gonna release my anger up?!! You’re the most annoying person, get lost!!” aku mendorongnya dengan bahuku agar menjauhi motorku. Dasar, menurutnya di sini hutan, datang-datang sudah mengutuk seenaknya.

“Kau adik Ji Min? Bukankah Ji Min anak tunggal?”

Aku hanya memberikannya glare setelah menghidupkan mesin motor. Ah, dia sunbae Ji Min oppa yang sempat dimaksud. Sunbae macam apa punya etika seperti ini? Pasti sunbae ini spesialis membully. Kategori sunbae yang takkan pernah aku hormati sampai kapanpun. “Untuk apa kau kemari hanya untuk mengomeli kinerja pegawai villa? Kau tahu di sini rumah Ji Min oppa, bukan tempat pegawai bersantai atau bermalas-malasan! Kau pemarah tapi tidak pandai menempatkan amarahmu. Cepat kembali dan mengomel di tempat seharusnya!” ketusku lalu meninggalkan garasi.

Aku mengambil lagi masker yang lain di ruangan yang khusus menyimpan peralatan yang berhubungan dengan kendaraan. Aku berharap setelah kembali ke garasi orang itu telah pergi. Dasar, namja tidak tahu diri! Dan benar, sesampaiku di garasi dia sudah tidak ada. Aku langsung mengenakan maskerku dan mengambil helm di tempat helm.

“Apa kau memang orang yang pemarah?”

Aku kaget mendengar suara itu. Setelah berbalik badan, kutemukan Tae Hyung oppa berjalan mendekati motor yang masih kuhidupkan untuk kupanaskan.

Aku berjalan mendekatinya. “Oppa kenapa kau di sini? Kupikir kau masih sangat rajin mewarnai.” Aku langsung mengenakan helm yang kutenteng di tanganku.

Ia mengangguk. “Memang, aku masih sangat rajin mewarnai.” Tiba-tiba tangannya terjulur. “Kemarikan ponselku, ponsel kita tertukar.”

Aku memundurkan sedikit kepalaku. Lalu merogoh ponsel di saku celanaku. Melihat screenlock ponsel yang sedaritadi kukantungi. Benar, ini bukan milikku. Langsung saja aku meletakkan ponsel itu di tangan Tae Hyung oppa. Lalu gantian tanganku yang terjulur. Ia juga melakukan hal yang sama, lalu aku mengantungi ponselku ke tempat semula.

“Jika seperti ini harusnya aku membeli yang warna gold saja. Membeli warna hitam pun tetap tertukar.” omelnya pelan sambil memasukkan ponselnya ke saku celananya.

“Jika tidak ingin tertukar dengan orang lain bawa saja telepon rumah kemana-mana! Bikkyeo, aku mau pergi!” lagi-lagi aku menggeser orang yang lebih tinggi dariku dengan bahuku agar menjauh dari scooter merah berbentuk klasik milik Ji Min oppa. Aku langsung saja meninggalkan Tae Hyung oppa sambil menarik pedal di tangan kananku. Dasar.

Aku berjalan menyusuri jalan yang dulunya sering aku lewati sambil berjalan kaki. Sudah lama sekali, dan di pertigaan depan biasanya Jung Kook menungguku. Rumah kita berbeda gang. Setelahnya, kita berjalan bersama menuju villa Ji Min oppa untuk berangkat ke sekolah bersama. Kita hanya selisih dua tahun, jadi aku dan Jung Kook selalu berangkat bersama Ji Min oppa. Saat itu kita masih sangat kecil, kita masihlah anak sekolah dasar. Dengan cerianya berjalan menuju sekolah tanpa banyak beban. Berbeda dengan sekarang.

Tak terasa aku sudah di depan toko yang kutuju. Toko yang baru kemarin kuhampiri bersama Tae Hyung oppa. Toko buku. Aku ingin membelikan Jung Kook buku yang sama sepertiku dan Tae Hyung oppa. Aku mencari-cari buku yang style Jung Kook. Kini tanganku terjulur untuk mengambil sebuah buku bermotif mandala. Style Jung Kook. Karena kupikir ia akan sangat bosan di kamar dan tidak bisa banyak bergerak, aku mengambilkan satu buku lagi yang bermotif garden. Okay, sekarang tinggal pensil warna.

“Yoo Ji-ah, eodi? Aku sudah selesai.”

Sebuah pesan kulihat ketika aku menunggu di kasir.

“Aku di toko buku. Aku sudah selesai, apa aku langsung?”

“Eo, aku menunggumu di pintu gerbang. Hati-hati.”

“Arasseo. Annyeong.”

Sangat singkat dan cepat pembicaraan itu, hingga kini aku sudah selesai membayar. Setelah keluar dari toko buku, aku mampir sejenak ke toko bunga di sebelah toko buku. Aku ingin membuat buket bunga yang sangat bagus.

 

Aku memarkir motorku. Melepas helm dan seperangkatnya, aku langsung mengeluarkan buket bunga yang sedaritadi aku letakkan di ranselku. Membawanya dengan penuh rasa sayang. Aku kini sudah melihat sesosok lelaki yang berdiri di pintu gerbang masuk. Aku tersenyum, lalu mempercepat jalanku ke arahnya. Manusia favoritku.

“Woah, cepat sekali dan what is this? Owww how beautiful!” senyuman lebar yang paling manis yang pernah kulihat, yang membuat hatiku senang melihatnya. Sang pemilik senyuman kini mengambil buket bunga besar itu dari tanganku. Melihat bunga-bunga pilihanku dengan wajah cerianya. Sangat polos senyumannya. Ia kini melihat ke arahku. “Look who did this beautiful job! Aigoo, uri dongsaeng memang sangat pintar memilih!” ujarnya langsung sambil menggosok sekilas kepalaku.

Aku tersenyum, lalu menggandeng tangan Yeol oppa. “Kkaja, eomma dan appa pasti sudah menunggu.” Ajakku yang langsung dijawab anggukan oleh Yeol oppa. Kita memasuki gerbang besar warna hitam itu.

Benar, hari ini adalah hari peringatannya.

Aku dan Yeol oppa melakukannya dengan sangat rutin, dan kali ini kebetulan sekali ketika kita memang sedang berada di Busan. “Kau bilang akan datang dengan Tae Hyung? Mana dia?”

Aku memasukkan daging yang sudah kubungkus sayur. “Ia tidak mau.” Jawabku dengan mulut penuh, lalu mengunyah makananku. Ini sudah suapan terakhir makananku dan Yeol oppa.  Jika sedang makan bersama seperti ini, Yeol oppa memang selalu memberikan suapan awal dan terakhir untukku. Entah apa alasannya, namu ia memang melakukannya demikian. Ia selalu mengambilkan semua lauk di awal makan untukku, dan memberikannya lagi di akhir makan.

Matahari sudah tidak mendominasi, aku dan Yeol oppa juga sudah selesai makan. “Oppa, bagaiamana kita berjalan-jalan mencari ubi manis sebentaaar saja? Hehe, aku akan berdoa demi keselamatanmu.” Benar, untuk ukuran idol Yeol oppa kini sangat ‘telanjang’ karena tidak memakai penyamaran sama sekali.

“Hahaha, gwaenchana! Di sini tidak se-hectic di Seoul. Kkaja.” Yeol oppa mengajakku segera keluar dari kedai ini. Ketika berada di luar seperti ini, Yeol oppa tak pernah lepas memegang tanganku. Ia memiliki banyak kekhawatiran, termasuk khawatir tentang antis yang akan menyerangku. Atau sasaeng fan.

Baru saja keluar dari kedai, beberapa kelompok yeoja menghampiri kita. Mereka sangat sopan menyapa Yeol oppa, mereka fans Yeol oppa. Ah, aku lega jika melihat fans Yeol oppa sejenis mereka. Mereka meminta maaf karena tidak bisa memberikan apapun pada Yeol oppa, mereka tidak tahu sama sekali jika Yeol oppa di Busan. Mereka mengetahuinya sejak kabar Yeol oppa ada wawancara dengan majalah. Kini mereka menyerahkan sebotol infused water untuk Yeol oppa. Dan salah satu dari mereka juga tiba-tiba memberikan benda yang sama untukku.

Kita pun berjalan dengan santai setelah melalui keramaian itu. menghampiri pedagang ubi manis yang dari jauh pun sudah terlihat. “Yoo Ji-ah, mianhae, selama liburan ini aku merasa sibuk sendiri. Aku mungkin terlalu exited memiliki adik yang lain seperti Soo Jin dan Chae Young, mereka sangat lucu. Dan di saat yang bersamaan kau sendirian, tidak bisa akrab dengan Tae Hyung ketika Ji Min dan Jung Kook sangat akrab bersamanya.” ujarnya tiba-tiba.

Aku tidak melihat ke arah Yeol oppa. Saat itu memang berat bagiku. Yang lain sudah cas cis cus dengan Tae Hyung oppa, dan aku yang tidak punya topik pembicaraan baik di kubu Yeol oppa ataupun kubu Tae Hyung oppa hanya bisa diam. Membalas line Eun Woo. Yang sedang Yeol oppa bahas terjadi sebelum aku akrab dengan Tae Hyung oppa. Jadi saat itu Eun Woo masih sering berkomunikasi denganku. Karenanya saat Tae Hyung oppa melarangku bertelepon atau bertukar pesan dengan Eun Woo aku sempat dilanda kebingungan, apa yang harus aku lakukan jika Eun Woo tidak menemaniku.

“Harusnya aku menghabiskan waktu denganmu seperti ini. Sudah lama sekali kita tidak bersama dalam waktu yang lama. Aku selalu meninggalkan adikku sendirian. Aku sangat menyesal.”

Tapi kapan lagi aku bisa melihat Yeol oppa bisa bahagia tanpa beban? Biasanya ia hanya bisa tersenyum palsu, menyembunyikan bebannya. Semenjak liburan senyumannya terlihat bahagia, polos, dan tanpa beban. “Memang kau harus menyesal, tapi tak masalah bagiku. Aku tidak semarah itu padamu. Tae Hyung oppa juga sudah sangat akrab denganku, jangan khawatirkan apapun tentangku.” Aku menoleh ke arahnya, memberikannya senyuman. “Nan jinjja gwaenchana, karena apapun yang kau lakukan tak mungkin kutentang. Seburuk apapun itu, aku takkan meninggalkanmu. Aku hanya memiliki satu oppa, dan aku sangat menyayanginya.”

Ia tersenyum. Dengan senyum polos tanpa beban favoritku. Ia merangkulku dan menarikku mendekat padanya. “Aigoo nae dongsaeng. Pintar membuatku merasa bersalah dan merasa tidak nyaman.”

Aku tersenyum. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku memiliki banyak permintaan dan menjadi bebanmu. Pergerakanmu pasti tidak nyaman. Seperti tidak memiliki zona pribadi karena kau selalu memikirkanku.”

Ia terkekeh kini. “Aku dari awal memang seharusnya tak menginginkan apa yang disebut zona pribadi. Aku seorang kakak, seorang idol yang seperti ini, merupakan tanggung jawabku. Aku tidak bisa menyalahinya, dan kau juga tidak bisa menggugatnya.” Lalu bagaimana dengannya dan Chae Young? “And yes, that’s true. Apa yang selama ini kau dan Tae Hyung ketahui adalah kebenaran. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, aku hanya tidak ingin kau menjadi Yoo Ji yang bukan kukenal jika mengetahuinya.”

Aku mengangguk. Kita telah tiba di pedagang ubi manis di pinggir jalan. Yeol oppa memesan, dan di saat itu aku memiliki suatu pemikiran. Tidak ada yang sempurna, oppa yang sempurna pun memiliki batasnya. Dan ini adalah batas Yeol oppa, kesempurnaannya hanya sampai sini.  Aku pun memakluminya. “Aku sudah mengantisipasinya, oppa. Aku akan tetap menjadi Yoo Ji adikmu, dan itu bukan perkara besar hingga mampu merubahku menjadi Yoo Ji yang berbeda.” Akulah yang harus melengkapi oppaku. Karena selamanya, sejauh apapun aku pergi dan setinggi apapun aku terbang, hanyalah Park Chan Yeol yang akan kucari. Keluargaku satu-satunya.

 

Aku memakaan ubi manis sambil duduk sendiri di bangku taman. Yeol oppa sudah kembali ke villa, tidak baik bagi seorang Park Chan Yeol berada di luar lama-lama tanpa penyamaran. Aku tersenyum mengingat apa yang kubeli di toko buku tadi. Kukeluarkan ponselku dari saku jaketku. Case, aku membeli case agar ponselku tidak tertukar lagi dengan Tae Hyung oppa. Aku membeli case warna tosca terang, jika Tae Hyung oppa masih salah mengambil ponsel akan kuejek dia habis-habisan. Hahaha.

“Oppa, aku punya sesuatu untukmu!”

Aku mengirim pesan demikian untuk Tae Hyung oppa. Hahaha, dilihat dari karakternya ia takkan penasaran dengan pesanku itu. Baru saja aku hendak memasukkan ponselku kembali ke saku jaketku, sebuah panggilan masuk. Eun Woo. Aku sedang sendiri, jadi bebas bukan aku mengangkat teleponnya? “Eo, Cha Eun Woo! Annyeong Cha Eun Woo! Nice to hear you Cha Eun Woo!” sapaku langsung bahkan sebelum Eun Woo bersuara. Hahaha.

“Woah, kau sedang bersemangat! Kebetulan sekali, aku memiliki satu misi untukmu!”

Aku mengerutkan alisku. “Misi? Misi seperti apa?” tanyaku lalu memakan ubi di tanganku.

“Dengarkan baik-baik, aku bisa mendeteksi apa yang kau lakukan, sedang bersama siapa, di mana, dan bagaimana ekspresimu lewat suatu aplikasi!”

Aku hampir tertawa mendengarnya. “Mwo? Kau seperti hantu saja. Memang apa yang aplikasi itu katakan? Kau sampai setengah mati percaya hal yang konyol.”

Di seberang sana ia terkekeh. “Aniya, ini bukan hal konyol! Jadi aplikasi ini mengatakan…….eu…kita bisa memfungsikan aplikasi ini dengan baik jika….” aku menahan tawaku, ia pasti sedang sibuk membaca instruksi dari aplikasi itu. Aku kembali memakan ubiku kembali untuk meredam tawaku. “Orang yang kita lacak menghidupkan GPS……paket data atau wifi……lalu….emm……sudah, itu saja. Itu saja! Cepat lakukan, aku ingin mempraktekannya padamu! Kau tidak sedang duduk di atas closet kan?”

“Tentu saja tidak! Kamar mandi pasti menggemakan suara, kau ini!” aku langsung menghidupkan GPS seperti perintahnya, paket data sendiri memang sudah kuaktifkan. Selalu kuaktifkan bahkan. “Sekarang coba tebak apa yang kulakukan, bersama siapa, di mana, dan bagaimana ekspresiku!”

Ia terdiam. Cukup lama, bahkan aku sempat berpikir jika dia kehabisan sinyal. Maldo andwae. Kini kulihat layar ponselku, baik-baik saja sinyalnya. Ia juga tidak memutus panggilan. Mwoyaaa? “Yeoboseyo?”

Tanpa jawaban, masih hening. Astaga kemana orang ini? Apa jangan-jangan…ini aplikasi yang bisa membunuh? “Eun Woo-ah, Cha Eun Woo? Yeoboseyo? Eun Woo, jawab aku, apa yang terjadi? Kenapa kau tidak bersuara? Atau aku yang tidak mendengar apapun? Ani, aku mendengar hal lain dengan baik. Yeoboseyo? Eun Wooooooo~~~”

Masih belum ada jawaban. Hampir satu menit ini. Jangan katakan jika kecurigaanku benar. Aku menjauhkan ponselku dari telingaku. Eun Woo…ada apa dengannya…? Jikapun ia pergi ke toilet, ia pasti mengatakannya. Ia hilang tepat ketika aku menghidupkan GPS. Aku khawatir sekali, ada apa sebenarnya? Kulihat lagi layar ponselku, masih menunjukkan waktu panggilan. Ia belum memutus panggilan. Kembali kutempelkan ponselku ke telingaku.

“Hahaha, ekspresi wajahmu barusan sangat lucu!”

Kepalaku seperti gunung merapi yang meledak. “Mwoyaaa tidak lucu! Astaga aku dipermainkan!!!”

“Lucu sekali, kau memasang wajah seperti itu karena khawatir denganku? Wae? Kau mengkhawatirkan apa?”

Aku mengernyit dan menggigit ubi manis dengan kasar. “Aku tidak mengkhawatirkan apapun. Aku hanya kelaparan.” ujarku kesal. Dia tidak tahu bagaimana lepasnya jantungku. “Berhenti tertawa, ini tidak lucu.”

“Arasseo arasseo, jangan berwajah seperti itu. Padahal sejak awal kau menghidupkan GPS kau tak berhenti tersenyum. Ckckck, kau percaya kan sekarang dengan aplikasi yang kumiliki?”

Aku mengerutkan alisku. “Geurae? Aku tidak berhenti tersenyum? Kupikir bagian itu yang salah.”

“Wae? Lalu wajahmu seperti apa? Flat?”

Hmm…tidak bisa dikatakan demikian juga. Tapi mana mungkin aku tersenyum? “Aku sendiri tidak tahu bagaimana ekspresiku.”

“Bagaimana kau membenarkan wajah khawatirmu? Kupikir kau juga tidak tahu jika wajah khawatirmu sangat lucu.”  Ujarnya lagi dengan tawa di akhirnya. Menertawakanku.

“Karena tadi aku memang sedang menduga apa yang terjadi padamu. Aku berpikiran yang tidak-tidak.”

“Berpikir tidak-tidak? Seperti?”

“Kau mati karena aplikasi yang kau gunakan.” Dari seberang telepon, ia tertawa. Terbahak bahkan. “Wae, apa yang salah? Seperti itu jalan cerita film thriller.”

Ia masih tertawa. “Ya, mana mungkin bisa demikian! Aigoo, imajinasimu tinggi sekali nakk!!” ia pun mengatur nafasnya, dan kini ia sudah berangsur berhenti tertawa. “Kau sedang berada di luar ruangan atau di alam, sendiri sambil memakan makanan organik jenis tanaman, umbi.”

Aku membuka mulutku kaget. “Woah daebak!! Presisi sekaliiii!!!! Bagaimana kau bisa tahu? Data apa yang terdownload hingga kau bisa menebaknya sebaik itu?!!” ujarku exited. Bisa seperti itu yaaa? Dunia harus mengakui aplikasi itu!

“Data yang terdownload berupa grafik, interval. Jadi pada rentang frekuensi tertentu menjelaskan bagaimana keadaan yang terjadi. Begitu. Jadi kau tidak bisa berbohong denganku, arasseo? Untung saja kau sedang tidak di toilet hahaha.”

Aku mengernyit. “Ah, berisikk. Aku hanya heran kau menemukan hal unik seperti itu dimana? Kenapa kau yang menemukannya bukan aku? Menyebalkan.” Aku kini meminum minuman kalengku sejenak. “Pasti itu membutuhkan koneksi yang cepat dan biaya data yang mahal, kkeuchi?”

“Hmm…seperti biaya Seoul-Busan?”

“Ya, daripada kau mahal-mahal membuangnya untuk aplikasi mengerikan seperti itu, akan lebih baik kau langsung saja menemuiku! Simpel, tidak merepotkan! Jika seperti ini aku yang tidak tenang karena masih sangat curiga dengan aplikasimu!”

“Benarkah? Begitu lebih simpel? Ah…”

“Ya, apa maksud tanggapanmu barusan? Kau benar-benar tidak tahu? Jika kau langsung menemuiku di Busan aku takkan duduk sendirian di bangku taman seperti ini. Aku takkan iri melihat orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka. Dasar, nerd!”

Tiba-tiba saja seseorang berdiri tepat di depanku. Aku kaget setengah mati. Tersirat ketakutan yang luar biasa melihat penampakan ini. Perlahan, kudongakkan kepalaku. “As you wish, honey.”

Cha Eun Woo.

Ia benar-benar berdiri di hadapanku, dengan ponsel yang menempel di telinganya. Tersenyum manis bagai bunga matahari yang menemukan mataharinya. Ia kini memutus panggilannya dan memasukkan ponselnya pada sakunya. “Kau sudah tidak sendiri.” senyumannya menjadi kekehan ringan setelah mengatakannya.

Aku sendiri hanya…tidak bisa mempercayai apa yang ada di hadapanku. Haruskah aku percaya begitu saja dan menyuruhnya duduk? Aku tidak sedang delusi bukan? Melihat orang lain sebagai Eun Woo? Aku dalam masalah besar jika melakukannya. Kini ia duduk di sebelah kananku. Dan mataku…masih mengikuti arah geraknya. Mulutku pun tak mampu mengeluarkan kata-kata, ini terlalu mengejutkan. Ia menoleh ke arahku. Astaga, ini jaraknya terlalu dekat! Haruskah aku mempercayai delusi ini?

Ia mengacak pelan rambutku. Wajahnya terlihat sangat gregetan. “Aigooo ada apa lagi denganmu? Kenapa kau terdiam seperti itu? Ini aku, Cha Eun Woo. Kau tidak sedang berkhayal atau bermimpi!” Lalu menjatuhkan tangannya yang tadi ia gunakan untuk mengacak rambutku ke bahuku. “Bogoshipta.” ujarnya sambil tersenyum.

Aku menjadi grogi mendadak mendengarnya. “Nado. Bogoshipta.” Refleks sekali aku mengucapkannya. Ada apa denganku… “Ya, kenapa kau membohongiku? Apa aku sebodoh itu dengan teknologi?”

Tangannya yang merangkulku menepuk pelan lenganku. “Agar kau terkejut seperti ini? Dan aku berhasil! Ah, puasnyaaa.” Ia menghela nafas, lalu menyandar pada kursi. Ia melihat ke arah langit sambil tersenyum.

Bagaimana bisa aku tidak menyukainya, Tae Hyung oppa? Kau masih belum mengijinkanku, namun aku begitu menyukainya. “Jadi aku hanya kau menemuiku karena merindukanku atau untuk mengerjaiku?” tanyaku.

Ia memejamkan matanya, sangat menikmati suasana di sini. What a sight! “Bisa tetap seperti ini untuk beberapa menit? Aku suka suasana ini.”

Aku pun terdiam, melihat ke arah depan juga. Menyandar pada kursi sambil kembali memakan ubi. Geurae, suasana ini memang sangat nyaman. “Kau tadi kemana? Hampir dua menit kau menghilang tak bersuara.”

“Aku tadi mencari keberadaanmu, tepatnya di mana. Ji Min hyung hanya mengatakan kau di luar, sebentarnya ia memberi tahu jika kau di sini.”

Yeol oppa sudah sampai di villa? Cepatnya. “Kau kenapa tiba-tiba ke Busan? Tidak mungkin hanya karena aku.”

Ia berdehem menjawabnya. “Aku ikut dengan pamanku yang sibuk berbisnis. Keren bukan?”

Aku terkekeh. “Entahlah.” ujarku pendek sambil meminum minumanku. “Kau tahu, Tae Hyung oppa masih belum mengijinkanku berpacaran denganmu, karena aku akan berada dalam bahaya.” Aku menghela nafas. “Kenapa hidupmu begitu menyusahkan?”

Ia hanya tertawa kecil. “Ara, aku tahu akan seperti ini. Kau bersama orang yang tahu segalanya, dan sangat tahu tentangku. Aku sudah siap menerima skenario ini dari lama.”

Aku terdiam, menatap ke arah depan dengan kosong. “Lalu bagaimana?”

Ia menoleh ke arahku. Aku pun melihat ke arahnya. “Kau maunya bagaimana? Kaulah yang menerima dampaknya. Jika kau tidak bermasalah dengan itu, bisa kita mulai. Aku juga menerima jika kau ingin merahasiakannya. Aku tetaplah orang yang sama apapun keputusanmu.”

Aku dilema mendengarnya. Semuanya ada di tanganku, karena yang terjadi padaku nanti adalah dampak keputusanku, aku yang harus menerimanya. Sebenarnya sesulit apa situasi jika orang itu menggangguku? Kenapa hingga Tae Hyung oppa melarangku? Aku sudah biasa berada di situasi sulit, bukankah akan baik-baik saja? Aku tidak mengenal orang itu. Lagipula akupun yakin jika orang itu juga tidak tahu aku adalah salah satu murid di sekolah. Lalu kenapa aku masih memusingkannya bukankah jawabannya sudah jelas?

Tangan Eun Woo yang di bahuku menepukku pelan. “Ya, jangan terlalu dipikirkan! Jangan terburu-buru. Aku juga bukan orang yang akan pergi jauh. Kita akan bertemu lagi setelah liburan bukan? Gwaenchana.” Aku menoleh ke arahnya yang wajahnya kini lebih dekat dari sebelumnya, ia sudah tidak menyandar pada kursi. Memberikan senyuman untuk menenangkanku.

Geurae, kenapa aku harus terburu-buru? “Tapi Eun Woo-ah, aku ingin tahu. Apa kau sebelumnya sudah pernah berpacaran? Kau nampak seperti orang yang sangat pro.”

Ia tertawa kini, lalu mengacak rambutku sekilas. “Pro, aku tertawa karena itu. Aku belum pernah berpacaran! Darimana kau mendapatkan kata itu yaampun.” Ia kembali tertawa.

Ahh, dia belum pernah berpacaran. Lalu…aku yang pertama? Jika aku dan dia berpacaran, aku yang pertama? Woaaaaaaa

 

Aku memarkirkan motor. Ah, wondeful day, aku suka hari ini. Seperti bebanku sudah lepas semua. Dan klimaksnya adalah bertemu Eun Woo dengan surprisenya. Itu sangat sukses membuatku terbang ke langit ketujuh. Aku membawa sekresek ubi manis, Jung Kook sangat menyukainya. Karena dia sedang tidak bisa berolahraga, jadi aku tidak peduli dengan dietnya. Kujejeli saja semua makanan yang ingin kubelikan untuknya. Dia pasien, tidak perlu peduli dengan diet hahaha.

Lantai satu sangat sepi, mereka biasanya berada di ruang membaca jika sudah makan malam. Apa mungkin sekarang sudah pindah ke kamar Jung Kook? Hahaha. Aku pun ke dapur. Memindah ubi manis ke wadah. Aku meletakkannya di nampan bersama salad buah yang juga kubeli. Aku juga membawakan infused water di sana. Masih dengan pakaian yang sama dan ransel yang belum kutanggalkan, aku menaiki tangga menuju kamar Jung Kook.

Setelah berhasil membuka pintu kamar Jung Kook, aku memasukinya. “Kasihan sekali pasien ini ditinggal sendirian. Beruntung sekali kau ada orang sepertiku.” ujarku sambil menutup pintu. Jung Kook  sedang membaca buku di kasur, benar-benar seperti pasien. Aku meletakkan nampan bawaanku di nakas dekat kasur Jung Kook.

“Kau kemana saja? Kau bahkan tidak menjengukku hampir setengah hari. Teman macam apa.” kini ia bersua tanpa melepas tatapannya pada buku bacaannya.

Aku pun mengambil buku bacaannya. “Kau lupa ini hari apa? Teman macam apa.” Seharusnya ia tahu ini hari apa, dasar.

Ia hanya memandangku, kupikir ia sudah ingat. Kini aku meletakkan dua buku di atas pangkuannya, lalu sepaket pensil warna di atasnya. “Agar kau tidak bosan. Kau tidak boleh banyak bergerak agar cepat sembuh. Jika kau memerlukan sesuatu, telepon siapapun. Arasseo?” aku mengacak rambutnya sekilas lalu menjitaknya. “Dasar anak bodoh.”

Tidak terima, ia kini menarik rambutku. “Cepat pergi, kau bau! Sejak kapan kau belum mandi? Dasar jorok!!”

Aku kini berusaha melepaskan rambutku dari tangannya. Berdiri sambil memegang ranselku lalu melempar ke arahnya kresek yang awalnya membungkus buku-buku itu. “Rasakan! Memang enak jadi pasien? Lihat saja jika kau menelponku akan kuabaikan! Hah!” aku langsung meninggalkannya.

“Pergi sana pergi, mengganggu waktu berkualitasku saja!”

Aku menutup pintu kamarnya dengan sedikit membanting setelah mendengar ucapannya. Dasar tidak sopan! Tepat saat aku menutup pintu, Tae Hyung oppa sudah menyandari tembok dekat pintu kamar Jung Kook. “Annyeong oppa!” sapaku langsung melewatinya, aku harus segera mandi seperti yang Jung Kook katakan, aku mungkin bau karena seharian melakukan banyak kegiatan.

Namun jaketku ditarik oleh Tae Hyung oppa yang membuatku mundur. “Kau mau kemana? Kau mau mengajakku duel?” jawabnya kesal. Hah? Aku salah apa lagi?

Aku sudah di hadapannya. “Kenapa? Aku ada berhutang sesuatu?”

“Eo, mana ponselmu?”

Aku mengingat. Ah, di tasku. Akupun mengambilnya. Aku mengacungkannya padanya. “Masih baik-baik saja dan takkan tertukar denganmu. Ada apa sebenarnya?”

Ia terkekeh tak habis pikir. “Coba lihat, apa yang terjadi pada ponselmu. Kupikir kau membuang ponselmu di suatu tempat.”

Akupun membuka ponselku. Ah, Tae Hyung oppa menelponku 12 kali. Untuk apa? Aku pun membuka pesan yang juga ia spam. Aku membelalakan mataku ketika melihat pesan yang kukirimkan padanya. Yaampun, aku lupa jika aku menjanjikan sesuatu padanya! “Oppa mian, tadi aku meletakkan ponselku di ransel, jadi aku tidak mengetahui kau berusaha menghubungiku beribu kali.” Kini aku mengambil sesuatu dari dalam ransel. “Sebenarnya aku memiliki sesuatu. Hihi, entah kau akan menyukainya atau tidak.” Aku mengeluarkan sebuah case yang kurasa cocok sekali dengan Tae Hyung oppa. “Tadaaaaa, bagus bukan? Ini untukmu agar ponselmu tidak mudah tertukar dengan siapapun! Ayo cepat pakai cepat pakaaaii!!!”

Ia hanya memandanginya, perlahan ia mengambilnya. Membuka pembungkus case itu, tangan kanannya yang berusaha mencari ponselnya di saku celananya. Kini ia memakaikan ponselnya case itu. Ia memandangi ponselnya yang terbalut case itu*gambar*

“Bagaimana? Bagus kan? Hahaha. Sudah yaaa aku mandi dulu. Pai paiiiii~~~”

Semoga Tae Hyung oppa suka itu. Karena jika aku bahagia, aku ingin membagikannya pada orang-orang yang kusayangi. Dan begitulah ending dari hari ini, lumayan panjang dan menyenangkan. Walau aku masih mengingat bagaimana sunbae Ji Min oppa yang menghardikku tidak jelas, namun itu tertutup dengan kebahagiaanku.

To be continue…

Tinggalkan komentar